Hidup bertopeng aksesoris

Salah satu dari kekhasan zaman modern adalah kepraktisan dan mode. Kenapa kita menyukai kepraktisan? mungkin Karena kesibukan. Karena kenyataan itulah, segala komoditi dikemas dalam bentuk yang praktis. Makanan praktis, peralatan berdandan praktis, semir praktis, perbankan praktis, belanja praktis, dan lain-lain.

Semuanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan itu.
Juga soal mode, mode terus berubah dan berubah. Bahkan umur sebuah mode, lifestyle bisa pendek sekali. Misalkan saja HP, setiap 3 bulan dapat dipastikan ada produk baru, model baru, dengan fitur-fitur baru dan system pengoperasian yang lebih canggih. Karena alas an mode, kemudian seseorang senang bergonta-ganti HP.

Namun ada masalah ketika segalanya diatur dan dikendalikan oleh kekuatan tangan-tangan kepraktisan dan mode. Orang sering dibuatnya lupa dan tidak sadar akan esensi suatu masalah. Sehingga seringkali yang terjadi kemudian orang hanya menyentuh yang aksesorial saja.
Ambil contoh soal HP tadi. Kalau dengan jujur kita bertanya kepada diri, apa fungsi sesungguhnya dari HP itu ? tentu manfaatnya hanya sebatas sebagai sarana komunikasi yang bisa digunakan dimana saja, karena sifat mobile itu. Tapi, benarkan kita menggunakan HP untuk kepentingan yang benar-benar penting dan produktif? Jawabannya, hampir sebagian besar dari kita, tidak.
HP hanya digunakan sebagai alat komunikasi luaran, bertegur sapa hello atau kencan lewat sms. Dan HP lebih diperlakukan sebagai sarana aksesori mejeng dan menambah bobot performance.

Ketika kita berada pada belitan kehidupan serba praktis, lambat laun kita akan terseret dan terjerembab dalam aliran ketidaksadaran dan menjadi orang yang berhenti pada aksesori luaran saja.

Hal serupa pada gilirannya akan mengimbas pada masalah ritual, peribadatan, dan kehidupan sehari-hari. Kita tentu kerap menyaksikan betapa lembaga atau institusi perkawinan hanya menjadi mode. Hari ini Mr.A dan Mrs. B melaksanakan helat perkawinan, besok lusa, sebulan kemudian sudah bubaran. Itu juga tidak hanya terjadi di kalangan dunia artis.
Berumrah bulan ramadhan juga seperti cendawan dimusan hujan. Diamana-mana menjelang bulan ramadhan iklan-iklan biro wisata dan haji menawarkan program. tapi sepulang ber umrah tidak ada perubahan yang mendalam. Sehingga ibadah haji dan umrah pun tidak lebih sebagai ritual wisata saja.

Kalau kita sudah terjebak pada hal yang bersifat formalitas dan aksesorial seperti tadi, kita akan menjadi orang yang berhenti disitu. Dan itu sangat berbahaya. Karena amalan-amalan keseharian kita, yang dalam konsep islam itu adalah keseluruhannya dikategorikan ibadah, bisa kehilangan jiwa. Jiwa kesadaran tentang arahnya kemana.

Kalau sudah kehilangan, jiwa menjadi kaku dan mati. Ujung-ujung nya kita bisa melupakan tujuan yang agung. Yaitu mendekatkan diri dan mencari ridha ilahi.
Pekerjaan-pekerjaan keseharian yang pada dasar nya juga ibadah bisa tak ada nilainya dan di akhirat kelak kita akan menjadi orang kecewa. Menjadi orang yang merugi dan frustasi karena kita ternyata tidak pernah memasukkan point atau simpanan amal kebajikan ke dalam tabungan akhirat kita. Dan itu digambarkan dalam al qur’an sebagai fatamorgana.(al qur’an : al kahfi: 104)

Taken from little sufi books
Tasirun sulaiman

Komentar